Pengertian Tentang Sholat Daim

watch_later Selasa, 29 November 2016

Shalat dalam tinjauan tasawuf ada dua macam, yaitu sholat yang bersifat syariat yaitu sholat lima waktu (shalat wajib dan sunnah), sedangkan yang kedua adalah sholat Daim. Adapun daim berarti kekal atau tetap, Shalat daim berarti doa atau dzikir yang kekal dan tetap. Shalat daim, seperti diungkapkan dalam firman Allah:‎





ٱلَّذينَ هُمْ عَلى صَلاتِهِمْ دائِمُونَ





Yang mereka itu tetap mengerjakan salatnya secara terus-menerus (Qs. al-Ma’arij ayat 23)





Ketika Ruh masih dalam kondisi yang ruhani, Sebelum diberi badan jasmani dan dibentuk oleh Allah. Pada hakekatnya Ruh sudah dibimbing agar selalu ingat (Dzikir) kepada Allah.





وَ إِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَني آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَ أَشْهَدَهُمْ عَلى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قالُوا بَلى شَهِدْنا 





Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.” (Qs. Al-A‘raf:172)





Shalat Daim Dalam Tasawuf Jawa





Sebelum kita memahami Shalat Daim, ada baiknya kita memahami apa sebenarnya arti dari kata Shalat itu. Arti daripada shalat adalah mengingat-ingat GUSTI ALLAH (Dzikrullah) di waktu duduk, berdiri dan melakukan aktivitas dalam kehidupan ini. Sedangkan kata Daim itu memiliki arti terus-menerus ataupun tak pernah putus. 





Jadi, jika kedua kata itu digabungkan maka Shalat Daim itu berarti mengingat-ingat GUSTI ALLAH tanpa pernah putus. Atau Dzikrullah secara terus menerus. 




Shalat daim terdapat dalam kepustakaan Jawa. Tidak seperti shalat lima waktu dan shalat sunah (nawafil), shalat daim tidak terikat dengan waktu, tanpa rukuk, dan tanpa sujud. Sebutan lengkap untuk salat ini adalah shalat daim mulat salira, yaitu zikir yang kekal dan mawas diri. Mawas diri di sini berarti selalu ingat atau eling kepada Tuhan Yang Maha Esa.





Dalam buku Salat Daim Mulat Salira karya Bratakesawa dijelaskan: “Shalat daim ialah sembahyang yang tetap, yang selalu dilaksanakan, atau sembahyang yang tidak pernah ditinggalkan, mawas diri, dan mawas aku (melihat dengan teliti akan diri sendiri atau dirinya dalam arti yang seutuhnya). Melakukan ini amat penting bagi kita yang mencari ilmu hakikat. Dan melakukan yang demikian inilah yang disebut dengan salat daim mulat sarira.”





Tidak berbeda dengan penjelasan ini, R. Ngabehi Ranggawarsita (Ronggowarsito) dalam bukunya Wirid Ma’lumat Jati menyatakan bahwa yang dimaksud dengan shalat daim adalah: “memperhatikan dengan seksama rasa hidup kita semua, lalu mengakui dirinya menjadi penampakan lahiriah Tuhan Yang Maha Suci yang sejati, Yang Maha Kuasa, Yang Kuasa menciptakan segala sesuatu. Kalau sudah bisa demikian, itulah yang disebut shalat daim, yaitu shalat sejati.”





Tentang salat daim ini dijelaskan oleh Ranggawarsita, yaitu “saya berniat salat daim untuk selama hidupku, berdirinya adalah hidupku, rukuknya adalah penglihatanku, iktidalnya adalah pendengaranku, sujudnya adalah penciumanku, bacaan ayat adalah ucapanku, duduknya adalah imanku, pujiannya adalah keluar masuknya nafasku, zikirnya adalah ingatanku, kiblatnya adalah renunganku, fardu menjalankan yang wajib lantaran kodratku sendiri. Disitu lalu pasrah kepada Zat hidup kita pribadi . jangan ragu-ragu lagi, karena yang demikian itu telah berdiri Zat, sifat dan perbuatan kita ini sudah menjadi Al-Qur’an sejati, sebagai tanda hakikat semua shalat.”





Lebih lanjut ia menjelaskan, “Itulah shalat daim, yakni salat yang sejati, ia tanpa di antarai waktu, tidak mempunyai hitungan rakaat, mereka ini bisa disebut shalat sambil bekerja, melakukan pekerjaan sambil salat, duduk dengan berdiri, berdiri dengan duduk, lari dengan berhenti, membisu dengan berceritera, bepergian dengan tidur, tidur dengan jaga. Seperti itulah ibaratnya, sebab hakikat shalat daim tanpa sujud dan rukuk, yakni hanya berada dalam rasa hidup kita.”





Menurut Ranggawarsita, karena hakikat shalat terletak pada perbuatan utama, yakni sabar dalam pendengaran, maka jika seseorang bisa menutup telinga untuk tidak mendengar hal-hal yang tidak bermanfaat, berarti ia telah melaksanakan shalat.





Shalat daim tersebut menurut mereka merupakan bentuk pengembaraan ahli kerohanian dalam mencari Tuhan. Untuk menemui Tuhan Yang Maha Kuasa, Maha Suci, dan Maha Sempurna, maka dalam pencarian itu seseorang harus suci secara lahir dan batin. Karena itu ia harus menghidupkan hati dan perasaannya untuk selalu ingat dan berzikir kepada Tuhan. Hal ini bisa dicapai dengan cara shalat daim dalam arti tasawuf, yaitu “ ingat dan zikir yang terus-menerus”.





Dengan demikian shalat daim ini tidak dalam arti salat fardu lima waktu dan salat sunah, melainkan lebih sesuai jika diartikan zikir secara sufi yang terus-menerus.


Al-Qur’an menganjurkan banyak berzikir di luar salat. Dalam hubungan ini Allah SWT berfirman:





فَإِذا قُضِيَتِ الصَّلاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَ ابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللهِ وَ اذْكُرُوا اللهَ كَثيراً لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ 





“Apabila telah ditunaikan salat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung” (QS.al-jumuah:10)





فَإِذا قَضَيْتُمُ الصَّلاةَ فَاذْكُرُوا اللهَ قِياماً وَ قُعُوداً وَ عَلى جُنُوبِكُمْ 





Maka apabila kamu telah menyelesaikan salat(mu), ingatlah Allah pada waktu kamu berdiri, duduk, dan berbaring. (Qs. An-Nisa’: 103)





Rasulullah Saw. adalah contoh yang sempurna, beliau menjalankan shalat lima waktu dan shalat sunnah-sunnah lainnya, tetapi beliau juga menjalankan shalat daim dalam sehari-harinya.





عن عائشة رضي الله عنها قالت: كان رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يذكر اللَّه على كل أحيانه. رَوَاهُ مُسلِمٌ.





Dari `Aisyah radhiyallahu `anha, ia berkata : “Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam selalu berzikir kepada Allah Ta’ala dalam segala keadaan”. (HR. Muslim.)





Salah satu contoh dari Shalat Daim dapat kita tauladani dari sejarah saat Sunan Bonang menggembleng Raden Mas Syahid sebelum bergelar Sunan Kalijaga. 





Saat itu Sunan Bonang sudah mengajarkan apa yang dinamakan Shalat Daim pada Raden Mas Syahid. Bagaimana Shalat Daim itu? Pertama kali Sunan Bonang menyuruh Raden Mas Syahid untuk duduk, diam dan berusaha untuk mengalahkan hawa nafsunya sendiri. 





Menurut ajaran dari Sunan Bonang, Shalat Daim itu hanya duduk, diam, hening, pasrah pada kehendak GUSTI ALLAH. Raden Mas Syahid tidak disuruh untuk dzikir ataupun melakukan ritual apapun. Apa rahasia dibalik duduk diam tersebut? Cobalah Anda duduk dan berdiam diri. Maka hawa nafsu Anda akan berbicara sendiri. Ia akan melaporkan hal-hal yang bersifat duniawi pada diri Anda. Hal itu semata-mata terjadi karena hawa nafsu kita mengajak kita untuk terus terikat dengan segala hal yang berbau dunia. 





Awalnya, orang diam pikirannya kemana-mana. Namun setelah sekian waktu diam di tempat, akal dan keinginannya akhirnya melemas dan benar-benar tidak memiliki daya untuk berpikir, energi keinginan duniawinya lepas dan lenyap. Dalam kondisi demikian, manusia akan berada dalam kondisi nol atau suwung total. Karena ego dan hawa nafsu sudah terkalahkan. 





Demikian juga dengan kondisi Raden Mas Syahid ketika bertapa di pinggir kali. Ia hanya pasrah dan tidak melakukan ritual apapun. Hanya diam dan hening. Hingga akhirnya Sunan Kalijaga bertemu dengan GURU SEJATINYA. 





“BADANKU BADAN ROKHANI, KANG SIFAT LANGGENG WASESA, KANG SUKSMA PURBA WASESA, KUMEBUL TANPA GENI, WANGI TANPA GANDA, AKU SAJATINE ROH SAKALIR, TEKA NEMBAH, LUNGO NEMBAH, WONG SAKETI PADA MATI, WONG SALEKSA PADA WUTA, WONG SEWU PADA TURU, AMONG AKU ORA TURU, PINANGERAN YITNA KABEH….”





Lewat Suluk Wujil, Sunan Bonang sudah menjelaskan perihal Shalat Daim yaitu 





Utamaning sarira puniki


Angrawuhana jatining salat


Sembah lawan pamujine


Jatining salat iku


Dudu ngisa tuwin magerib


Sembahyang araneka


Wenange punika


Lamun aranana salat


Pun minangka kekembanging salat daim


Ingaran tata krama


Endi ingaran sembah sejati


Aja nembah yen tan katingalan


Temahe kasor kulane


Yen sira nora weruh


Kang sinembah ing donya iki


Kadi anulup kaga


Punglune den sawur


Manuke mangsa kenaa


Awekasa amangeran adan sarpin


Sembahe siya-siya.





(unggulnya diri itu mengetahui hakikat shalat, sembah dan pujian. Shalat yang sebenarnya bukan mengerjakan shalat Isya dan Maghrib. Itu namanya sembahyang. Apabila itu disebut shalat, maka hanyalah hiasan dari shalat daim. Hanyalah tata krama . manakah yang disebut shalat yang sesungguhnya itu? Janganlah menyembah jikalau tidak mengetahui siapa yang disembah. Akibatnya dikalahkan oleh martabat hidupmu. Jika didunia ini engkau tidak mengetahui siapa yang disembah, maka engkau seperti menyumpit burung. Pelurunya hanya disebarkan, tapi burungnya tak ada yang terkena tembakan. Akibatnya cuma menyembah ketiadaan, suatu sesembahan yang sia-sia).


‎‎‎


Shalat sejati tidak hanya mengerjakan sembah raga atau tataran syariat mengerjakan sholat lima waktu. Shalat sejati adalah SHALAT DAIM, yaitu bersatunya semua indera dan tubuh kita untuk selalu memuji-Nya dengan kalimat penyaksian bahwa yang suci di dunia ini hanya Tuhan: HU-ALLAH, DIA ALLAH. Hu saat menarik nafas dan Allah saat mengeluarkan nafas. 





Lebih lanjut Sunan Bonang juga menjelaskan tentang cara melakukan Shalat Daim lewat Suluk Wujil, yaitu





PANGABEKTINE INGKANG UTAMI, 


NORA LAN WAKTU SASOLAHIRA, 


PUNIKA MANGKA SEMBAHE MENENG MUNI PUNIKU, 


SASOLAHE RAGANIREKI, 


TAN SIMPANG DADI SEMBAH, 


TEKENG WULUNIPUN, 


TINJA TURAS DADI SEMBAH, 


IKU INGKANG NIYAT KANG SEJATI, PUJI TAN PAPEGETAN. 





(Berbakti yang utama tidak mengenal waktu. Semua tingkah lakunya itulah menyembah. Diam, bicara, dan semua gerakan tubuh merupakan kegiatan menyembah. Wudhu, berak dan kencing pun juga kegiatan menyembah. Itulah niat sejati. Pujian yang tidak pernah berakhir).




Maka jelaslah bahwa shalat lima waktu yang hanya dilakukan berdasarkan ukuran formalitas, hanya sebentuk tata krama, aturan keberagamaan. Sementara shalat daim yang merupakan shalat yang sebenarnya. Yakni, kesadaran total akan kehadiran dan keberadaan Hyang Maha Agung di dalam dirinya, dan dia merasakan dirinya sirna. Sehingga semua tingkah lakunya adalah shalat. Diam, bicara, dan semua gerak tubuhnya merupakan shalat. Wudhu, membuang air besar, makan dan sebagainya adalah tindakan sembahyang. Inilah hakikat dari niat sejati dan pujian yang tiada putus. Ya, shalat yang mampu membawa pelakunya untuk menebar kekejian dan ke-mungkar-an. Mampu menghadirkan rahmatan lil ‘alamin. 




Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda

  • Untuk menulis huruf bold silahkan gunakan <strong></strong> atau <b></b>.
  • Untuk menulis huruf italic silahkan gunakan <em></em> atau <i></i>.
  • Untuk menulis huruf underline silahkan gunakan <u></u>.
  • Untuk menulis huruf strikethrought silahkan gunakan <strike></strike>.
  • Untuk menulis kode HTML silahkan gunakan <code></code> atau <pre></pre> atau <pre><code></code></pre>, dan silahkan local_parking parse dulu kodenya pada kotak parser di bawah ini.