Perpajakan dalam Islam

watch_later Senin, 01 September 2014

MUQADDIMAH






Perkembangan peradaban manusia antara lain ditandai oleh terbentuknya lembaga pemerintahan, baik berupa kerajaan atau negara modern yang berciri demokrasi. Penyelenggaraan kekuasaan untuk menjamin tata tertib kehidupan berdemokrasi tentu membutuhkan biaya. Mekanisme perpajakan adalah cara pokok bagi pemerintahan manapun untuk memobilisasi sumber daya guna menjamin berlangsungnya pemerintahan dan dan program-program pembangunan yang dijalankannya (Ismawan, 2000). Menurut Musgrave dan Musgrave (1995) peranan pemerintah semakin penting dengan meningkatnya kompleksitas dan saling ketergantungan dalam masyarakat, terutama dalam peningkatan perkonomian.


Kebijaksanaan fiskal merupakan salah satu wujud intervensi pemerintah dalam aktifitas perekonomian. Di negara maju, kenaikan pengeluaran pemerintah terutama untuk membiayai program pemelihara penghasilan masyarakat seperti jaminan social (social security) dan catu program (food stamp). Sebaliknya di negara berkembang kebijaksanaan fiskal merupakan merupakan piranti kebijaksanaan makro ekonomi untuk mempercepat proses pembangunan. Kebijaksanaan fiskal lewat pajak merupakan instrumen untuk mobilisasi dana masyarakat dalam rangka membiayai aktivitas rutin kegiatan pembangunan.








Hakikat Pajak dalam Islam


Dalam hal pembiayaan negara, Islam mempunyai sejarah tersendiri yang menarik, keuangan publik berkembang bersamaan dengan perkembangan masyarakat muslim dan pembentukan negara Islam oleh Rasulullah SAW dan di teruskan oleh Khulafaurrasyidin. Kendatipun sebelumnya telah digariskan Al-Quran, dalam hal santunan kepada orang miskin (Al Quran, 70, 24-25)


Khusus mengenai pemasukan negara dari pajak dalam konsepsi Islam, dikenal sejak awal berdirinya pemerintahan Islam di Madinah (Khan, 1996) dan terus mengalami perkembangan hingga sekarang. Sumber pemasukan negara Islam mengenai pajak harus mendasarkan diri pada prinsip-prinsip perekonomian Islami sebagai esensi dalam kerangka aplikatifnya.


Prinsip–prinsip kebijakan ekonomi Islam adalah sebagai berikut;


A. Kekuasan tertinggi adalah milik Allah SWT dan Allah adalah pemilik yang absolut dari segala sesuatu yang ada.


B. Manusia merupakan khalifah Allah di muka bumi tapi bukan pemilik sebenarnya.


C. Semua yang dimiliki adalah seizin Allah, oleh karenanya saudara-saudaranya yang kurang beruntung memiliki hak atas sebagian kekayaaan yang dimiliki saudara-saudaanya yang kurang beruntung.


D.Kekayaan tidak boleh ditumpuk atau ditimbun.


E. Kekayaan harus berputar.


F. Eksploitasi ekonomi dalam segala bentuknya harus dihilangkan.


G. Menghilangkan jurang perbedaan antar individu dalam perekonomian dapat menghapuskan konflik antar golongan dengan cara membagikan kepemilikan seseorang setelah kematiannya kepada ahli warisnya.


H. Menetapkan kewajiban yang sifatnya wajib dan sukarela bagi semua individu termasuk bagi anggota masyarakat yang miskin. (Sabzwari, p.20, 2002)








Pajak dalam ekonomi Islam menurut penulis mempunyai mempunyai ciri sebagai berikut;


A. Pajak dalam Islam lebih banyak mensandarkan pada Al-Quran dan terutama pada tindakan Rasul (hadits) sebagai penguasa.


B. Mempunyai jurisdiksi negara yang jelas (Khan, 2002) selain pajak dikenal zakat, khums dan lain-lain, juga menjelaskan siapa subjek pajak (pajak ushr dikenal subjek pajak pembedaan muslim dan non muslim) & objek pajak (pajak tanah/kharaj) dan jumlah pembayaran fixed (ushr atau pajak tanah menurut Sabzwari)( 2002), 2,5% bagi muslim dan 5% non muslim.


C. Merupakan iuran dari rakyat kepada negara dan agama.


D. Untuk membiayai pengeluaran negara; untuk infrastruktur, pendidikan, perang, dan lain-lain.


E. Mempunyai waktu pembayaran yang tepat (asas convinience) dan bagi yang mampu (asas equality) contoh jizyah (pajak yang dibayar oleh non muslim untuk jaminan perlindungan jiwa sebesar satu dinar pertahun bagi yang mampu membayarnya.


F. Ditujukan untuk kemashlahatan tujuan pelaksanaan negara.


G. Untuk mendorong stimulus perekonomian; seperti ushr yaitu pajak bea impor yang dikenakan hanya pada barang bernilai 200 dirham dan hanya setahun sekali, Rasul SAW membebaskan semua bea masuk untuk meningkatkan perekonomian dan menghapus bea impor milik utusan bila sebelumnya telah terjadi tukar menukar barang (Baladhuri, 1996).


H. Keadilan dalam pemungutan pajak merupakan hal utama.


dan lain-lain.






Perbedaan Pajak dan Zakat


Zakat jika diperhatikan secara mendalam dari perspektif ilmu pajak konvensional, dapat di golongkan sebagai pajak karena ia adalah iuran yang dipasakan (non voluntary) oleh negara-Islam dan juga digunakan untuk agar terjadi aspek pemerataan kepada masyarakat dimana pajak dipungut. Zakat juga dipungut oleh administrasi baitul maal (lembaga keuangan negara).


Objek zakat juga berbagai macam benda logam emas, hewan, hasil pertanian dan perdagangan dan lain lain. Perbedaan yang paling utama adalah bahwasanya tujuan zakat adalah untuk langsung ditujukan kepada orang tidak mampu sedangkan pajak digunakan untuk skup yang lebih luas, yaitu menurut Indra Ismawan (2001) pembiayaan pengeluaran negara untuk pembangunan infrastruktur pembangunan juga untuk di alokasikan untuk pemeratan sosial.


Tetapi penolakan persamaan mengenai antara pajak dan zakat diungkapkan oleh Khan (1996) dan Qardawi (1997). Menurut Khan, dalam berbagai hal zakat merupakan lembaga yang unik, tidak ada persamaannya dengan pajak-pajak lain yang diwajibkan oleh suatu negara; pertama, zakat adalah sebuah pajak atas kekayaan dan bukan atas pemasukan, kedua dikumpulkan dari orang kaya dan digunakan untuk orang miskin, ketiga ia adalah insuransi sosial yang komprehensif yang meliputi hampir semua resiko dalam masyarakat Islam, keempat dia dibagikan pertama-tama dimana ia dikumpulkan, kelima, rasio, batas-batas pengecualian dan aturan dasarnya ditentukan oleh Nabi Muhammad SAW dan tidak akan diubah sepanjang masa, keenam ia adalah lembaga yang mencukupkan sendiri yang memenuhi biaya pengurusan dan ongkosnya sendiri.


Sedang Qardhawi mengatakan bahwa terdapat perbedaan yang menyolok antara zakat dan pajak. Pajak diperoleh dari pekerja kasar dan pedagang kecil untuk menggaji aparat pemerintah dan para pendukungnya. Bisa dikatakan, pajak adalah harta yang diperoleh dari rakyat cilik kepada orang-orang kaya. Jadi jelaslah bahwasanya para pemikir ekonomi Islam memisahkan zakat dengan pajak. Pajak adalah kewajiban kepada negara sedang zakat adalah kewajiban kepada agama.


Untuk lebih memfokuskan pembahasan maka penulis akan mencoba membatasi pengertian pajak sesuai dengan pajak yang diberikan pengertian oleh para pemikir ekonomi Islam dengan tidak memasukan zakat dalam pengertian bagian dari pajak.




Kebijakan Perpajakan Pada Masa Rasulullah SAW




Munculnya Islam memberikan khasanah baru dalam peradaban zaman, selama tiga belas tahun di Mekkah, beliau hijrah ke Madinah (Yastrib). Pada masa hijrah di Madinah, kota ini masih dalam keadaan kacau, belum ada pemimpin atau raja yang berdaulat. Dikota ini banyak suku, salah satunya suku yahudi yang dipimpin Abdullah bin Ubayy. Kelompok yang terkuat adalah kelompok yahudi, namun ekonominya masih lemah dan hanya ditopang oleh hasil pertanian. Oleh karena tidak ada peraturan maka sistem pajak dan fiskal tidak berlaku.(Muhammad, p.180, 2002).


Pada saat di Mekkah, Rasulullah hanya seorang pemuka agama, di Medinah keadaannya berubah. Dalam jangka waktu singkat beliau telah menjadi pemimpin komunitas kecil yang terdiri dari pengikutnya yang jumlah meningkatnya dari waktu ke waktu. Kaum yahudi juga telah menerima Rasulullah, beliaupun menjadi pemimpin bangsa Madinah, dibawah kepemimpinannya kota Madinah berkembang cepat dan dalam waktu sepuluh tahun telah menjadi negara yang sangat besar dibandingkan wilayah–wilayah lainnya di jazirah arab, lengkap dengan aparatur negara yang jumlahnya sesuai dengan luasnya waktu itu (Sabzwari, 2002).


Kemandirian sebuah negara sangat tergantung kepada kesanggupan pemerintahnya untuk mengumpulkan pemasukan-pemasukan yang dibutuhkan dan mendistribusikannya untuk bersama. Setelah mendirikan negara kecil Madinah, nabi Muhammad SAW mengalihkan perhatian kepada kebutuhan fital ini (Khan, p.209, 1996).


Penerimaan negara pada zaman Rasulullah SAW pertama adalah zakat yang dimulai pada tahun kedua setelah hijrah. Adapun pajak yang ada pada zaman Rasul adalah sebagai berikut :




Jizyah adalah pajak yang dibayarkan orang non muslim khususnya ahli kitab untuk jaminan perlidungan jiwa, harta atau kekayaan, bebas dari nilai-nilai dan tidak wajib militer. Pada zaman Rasul besarnya jizyah adalah satu dinar pertahun untuk orang dewasa yang mampu membayarnya. Pembayaran tidak harus tunai tetapi dapat juga berupa barang dan jasa.




Kharaj atau pajak tanah dipungut dari non muslim ketika khaibar ditaklukan, tanahnya diambil alih oleh orang muslim dan pemilik lamanya menawarkan untuk mengolah tanah tersebut sebagi pengganti sewa tanah dan bersedia memberikan setengah hasil produksi kepada negara. Jumlah kharaj dari tanah ini tetap. Rasululullah biasanya mengirim orang yang memiliki pengetahuan dalam masalah ini untuk memperkirakan jumlah hasil produksi. Setelah mengurangi sepertiga sebagai kelebihan perkiran, dua pertiga bagian diberikan dan mereka bebas memilih; menerima atau menolak pembagian tersebut. Prosedur yang sama diterapkan di daerah lain. Kharaj menjadi sumber pendapatan yang penting pada saat itu (Sabzwari, p.32, 2002).



Ushr (pajak cukai sepersepuluh) dikenakan kepada para pedagang non muslim karena pedagang muslim harus membayar pajak yang sama atas tanah mereka (Khan, 1996). Sedangkan menurut Sabzwari (2002) ushr adalah bea impor yang dikenakan kepada semua pedagang dibayar sekali dalam setahun dan hanya berlaku terhadap barang yang nilainya lebih dari 200 dirham. Tingkat bea orang yang dlindungi adalah 5 % dan pedagang Muslim 2.5 % .


Nawaib yaitu pajak yang jumlahnya cukup besar yang dibebankan pada kaum muslimin yang kaya dalam rangka menutupi pengeluaran negara selama masa darurat dan ini pernah terjadi pada masa perang Tabuk. (Nawaib digolongkan oleh Sabzwari dan Muhammad sebagai sumber pendapatan negara yang sekunder).


Khums menurut Kadim Shadr (1996) adalah pajak proporsional yang jumlahnya tidak konstan, hal ini menyebabkan kestabilan harga dan menurunkan Inflasi dalam kondisi kelebihan permintaan atas penawaran.




Pada masa Rasul penerimaan negara yang paling utama adalah zakat dan ushr, karena zakat dan ushr adalah kewajiban agama dan masuk salah satu pilar Islam. Pengeluaran untuk keduanya telah diatur dalam Al- Quran 9:60, sehingga pengeluaran zakat tidak bisa untuk pengeluaran umum. (Muhammad, p.184, 2002)


Untuk kebijakan alokasi dana pajak yang diperoleh, sebagaimana diungkapkan oleh Kadim Shadr (1996) bahwa setiap dana pajak mempunyai tujuan pengeluaran sendiri. Khums juga digunakan untuk memenuhi kebutuhan pasukan dan perlengkapan perang. Pengeluaran khusus untuk penerimaan kharaj adalah untuk memelihara kebutuhan publik. Pada saat yang sama, penerimaan yang disebut diatas juga dikeluarkan untuk hal yang bermanfaat bagi publik secara umum.


Selanjutnya dana yang dikumpulkan dari setiap daerah terutama dikeluarkan untuk daerah itu sendiri. Akhirnya seluruh dana yang tersisa dikirim ke baitul maal.






Kebijakan Pajak Dimasa Khulafaurrasyidin




Khalifah Abu Bakar Ashidiq RA




Abu Bakar Ashidiq adalah sahabat pertama yang melanjutkan dan menggantikan kepemimpinan setelah Rasul SAW. Sebelum menjadi khalifah beliau tinggal di Sikh, dipinggir kota Madinah tempat baitul maal dibangun. Abu Ubaidah ditunjuk menjadi penanggung jawab Baitul maal. Setelah 6 bulan Abu Bakar pindah ke Madinah dna bersamaan dengan itu sebuah rumah dibangun untuk Baitul Maal.


Selama sekitar 27 bulan kepemimipinannya, Abu Bakar telah banyak menangani masalah murtad, cukai dan masalah orang yang menolak membayar zakat kepada negara. Salah satu suku mengumpulkan zakat dan mendistribusikannya diantara nereka sendiri tanpa sepengetahun Abu bakar (Sabzwari, 2002). Tidak ada perubahan mengenai pengaturan baitul maal (Kadim Shadr, 2002). Abu bakar adalah Khalifah yang mencontohkan pentingnya integritas moral seorang pemimpin dalam penggunaan kekayaan publik yaitu dengan mengembalikan penggunaan pendapatan negara dalam operasionalnya sebesar 8000 dirham, serta mengemblikan fasilitas yang diberikan kepadanya selama menjabat sebagai khalifah (Sabzwari, 2002).






Umar Bin Khattab Al Faruqi RA


Umar menggantikan Abu Bakar yang dipilih secara aklamasi. Kontribusi Umar yang paling baik adalah membentuk perangkat administrasi yang baik untuk menjalankan roda pemerintahan yang besar. Ia mendirikan institusi admisistratif yang hampir tak mungkin didirikan pada abad ketujuh sesudah masehi. Pada tahun 16 Hijriah Abu Huraira yang bertugas sebagai amil Bahrain, mengunjungi Madinah dan membawa 500.000 dirham kharaj. Itu adalah jumlah besar sehingga mengadakan pertemuan dengan majelis syuro untuk menanyakan pendapat mereka dan diputuskan bersama bahwa jumlah tersebut tidak untuk didistribusikan melainkan untuk disimpan sebagai cadangan darurat. Untuk menyimpan dana tersebut dibentuklah baitul maal untuk pertama kalinya yang bersifat reguler dan permanen. Didirikan di ibukota dan didirikan cabang-cabangnya di ibu kota propinsi. Abdullah bin Irqam ditunjuk sebgai pengurus baitul maal.(menteri keuangan).


Baitul Maal secara tidak langsung bertugas sebagai pelaksana kebijaksaan fiskal negara Islam. Khalifah adalah yang berkuasa penuh atas dana tersebut, tetapi tidak boleh menggunakannya untuk keperluan pribadi. Khalifah mendapat tunjangan tersendiri sebagai gajinya.


Properti baitul maal dianggap sebagai harta kaum muslim sedangkan amil-amilnya hanyalah pemegang kepercayan. Jadi merupakan tanggung jawab negara untuk menyediakan fasilitas yang berkesinambungan untuk janda, anak yatim, anak terlantar, membiayai penguburan orang miskin, membayar utang orang bangkrut, membayar uang diyat untuk kasus tertentu dan memberikan pinjaman tanpa bunga untuk urusan komersial, bahkan Umar pernah meminjam sejumlah uang untuk keperluan pribadinya.


Bersamaan dengan reorganisasi baitul maal, Umar mendirikan diwan Islam yang pertama, yang disebut Al Divan. Sebenarnya lembaga tersebut adalah kantor yang ditujukan untuk membayar tunjangan-tunjangan angkatan perang dan pensiun serta tunjangan lain dalam basis yang reguler dan tepat. Khalifah juga membentuk komite yang terdiri dan ternama, untuk membuat sensus penduduk Madinah sesuai dengan tingkat kepentingan dan kelasnya untuk diberi tunjangan. Adalah yang pertama kali didunia dimana pemerintah menyandang tanggung jawab pemenuhan kebutuhan makanan dan pakaian kepada warganya.


Daerah penumpukan kharaj adalah mencakup bagian yang cukup besar dari kerajaan Roma dan Sasanid karena itu sistem yang terelaborasi dibutuhkan untuk penilaian, pengumpulan dan pendistribusian penghasilan yang diperoleh dari tanah-tanah tersebut. Berdasar itu Umar mengirimkan Usman Ibn Hunaif Al-Anshari untuk membuka batas-batas tanah di Sawad.


Umar menetapkan peraturan sebagai berikut:


Wilayah Irak yang ditaklukan dengan kekuatan, menjadi milik muslim dan kepemilikan ini tidak dapat diganggu gugat, sedangkan bagian yang berada dibawah perjanjian damai tetap dalam pemilikan sebelumnya dan kepemilikan tersebut dapat dialihkan.


Kharaj dibebankan pada semua tanah yang dibawah kategori pertama, meskipun pemilik tersebut kemudian memeluk Islam. Dengan demikian tanah tersebut tidak dapat dikonversikan menjadi tanah ushr.


Bekas pemilik tanah diberi hak kepemilikan, sepanjang mereka membayar kharaj dan jizya.


Sisa tanah yang tidak ditempati atau ditanami (tanah mati) atau tanah yang diklaim kembali (seperti Basra) bila ditanami oleh muslim diperlakukan sebagai ushr.


Di Sawad, kharaj dibebankan sebesar satu dirham dan satu rafiz (satu ukuran lokal) gandum dan barley (jenis gandum), dengan anggapan tanah tersebut dapat dilalui air. Harga/tarif yang lebih tinggi dikenakan kepada rathbah (rempah atau cengkeh) dan perkebunan.


Di Mesir menurut perjanjian Amar, dibebankan dua dinar. Hingga tiga irdab gandum, dua qist untuk setiap minyak, cuka dan madu dan rancangan itu disetujui khalifah.


Perjanjian Damaskus (Syiria) menetapkan pembayaran tunai, pembagian tanah dengan muslim. Beban perkepala sebesar satu dinar dan beban jarib (unit berat) yang diproduksi per jarib (ukuran tanah).




Ushr




Secara jelas dikatakan bahwa pembebanan sepersepuluh hasil pertanian kepada pedagang Manbij (Hierapolis ) sebagai yang pertama di masa Umar. Orang Manbij adalah orang-orang Harbi yang meminta ijin kepada khalifah untuk masuk ke negara muslim untuk melakukan perdagangan dengan membayar sepersepuluh dari nilai barang. Tetapi ada kasus khusus ketika Abu Musa al-Ashari menulis surat kepada Umar.


Klasifikasi Pendapatan


Pada masa Umar pendapatan negara meningkat tajam, pendapatan yang diterima di Baitul maal terdiri dari :


Pendapatan yang diperoleh zakat dan ushr yang dikenakan terhadap kaum muslimin.


Pendapat yang diperoleh dari khums dan shodaqah.


Pendapatan yang diperoleh dari kharaj, fay, jizya, ushr dan sewa tetap tahunan tanah yang diberikan.


Berbagai macam pendapatan yang diperoleh dari berbagai sumber.




Masa Kekhalifahan Usman RA




Usman adalah Khalifah ketiga. Beliau adalah seorang yang jujur dan saleh tetapi sangat tua dan lemah lembut. Dia adalah salah seorang dari beberapa terkaya diantara sahabat nabi. Kekayaannya membantu terwujudnya Islam beberapa peristiwa penting sejarah. Pada enam tahun pertama kepemimipinannya, Balkh Kabul, Ghazni, Kerman dan Sistani ditaklukan. Untuk menata pendapatan baru, kebijakan Umar diikuti. Tidak lama setelah negara-negara ditaklukan, kemudian tindakan efektif dilakukan dalam rangka pengembangan sumber daya alam. Aliran air digali, jalan dibangun, pohon buah-buahan ditanami dan keamanan perdagangan diberikan dengan cara pembentukan kepolisian tetap.


Kebijakan perpajakan yang dilakukan Usman adalah dengan membuat perubahan administrasi dan mengganti gubernur Mesir, Busra, Assawad dan lain-lain. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan pemasukan negara dalam rangka pembiayan pertanahan dan kelautan, untuk peningkatan dana pensiun dan pembangunan di wilayah taklukan baru.






Masa Kekahalifahan Ali bin Abi Thalib RA


Segera setelah pengangkatan Ali sebagai khalifah, beliau segera memberikan perintah untuk memberhentikan pejabat korup yang ditunjuk Usman dan membuka kembali tanah perkebunan yang sudah diberikan kepada orang kesayanganUsman dan mendistribusikan pendapatan sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan Umar. Ali berkuasa selama 5 tahun dan dia mempunyai konsep yang jelas mengenai pemerintahan dan administrasi umum dan masalah yang berkaitan dengannya.


Tetapi masih ada ketidakjelasan permasalahan yang dilakukan Ali dalam membebankan khums atas ikan atau hasil hutan. Menurut Baladhuri, Ali membebankan para pemilik hutan (ajamat) 4000 dirham. Hutan ini diperdebatkan karena diduga ada ngarai yang dalam yang terdapat batu-batu yang dapat dibuat bahan menjadi istana, sementara yang lain mengatakan bahwa hanya tanah longsor.






Perpajakan Islam Daulah Ummayah (41-132H/661-750M)


Pada pemerintahan Ummayah mulai banyak ditemukan buku-buku karangan yang ditulis Fuqaha (Jurist), sufi dan ahli filsafat, mereka tidak secara khusus membahas mengenai ekonomi tetapi terpisah tetapi dikemudian hari semua para ahli mempunyai keahlian dibidang itu (Karnaen; 2003). Berikut ini adalah pemikiran–pemikiran tentang perpajakan Islam yang ada pada khalifah Bani Ummayah.






Imam Malik bin Anas (93-197AH/712-795 AD)


Beliau hidup di zaman pemerintahan Bani Ummayah mulai pada khlaifah Al-Walid I (86H/750M) Karyanya yang dikenal adalah kitab Al-Muwatha, yaitu kitab hadits dan fiqih tertua (Karnaen;2002). Menurut Najetullah Sidiq (1996):




…he clearly recognized the right of the slamic state to levy taxes over and above those specified in the Shariah, in case of need.




…dia dengan jelas mengakui/memperkenalkan hak dari pemerintahan Islam untuk mengambil pajak berlebih dan diatas seperti yang di maksud oleh syariah.






Abu Yusuf (113-182 AH/731-798AD)


Menurut Muhammad Najetullah Siddiqi (1992) Abu Yusuf adalah juris pertama/fuqaha yang mengkonsentrasikan dirinya pada Economic policy wabil khusus dalam bidang pajak, beliau menekankan akan pajak dipungut pada bidang tertentu saja:






….. His Kitab Al-Kharaj was later folllowed by a number of similar works by other Jurists. He Emphasis on the economic responbilities of the ruler towards need fulfilment of his people and development of his realm, the for justice an equity in taxation and the rulers duty to regard public money as a trust and be accountable for it”s expenditure are themes that recure in all future writings on the subject. He strongly oppsed tax farming and recommended replacement of a fixed levy on land by a proportionate tax on agricultual produce. This was more Just and likely to yield larger revenue and fasilitate expansion in the area under cultivation.


Kitabnya Al-Kharaj yang kemudian diikuti oleh beberapa pemikiran yang sama oleh para fuqaha yang lain. Dia menekankan pada pertanggungjawaban penguasa kepada pemenuhan kebutuhan rakyat dan pengembangannya, kebutuhan akan keadilan dan perdamaian dalam perpajakan.Adalah kewajiban penguasa untuk memperlakukan uang rakyat sebagai amanah dan yang harus dipertanggungjawabkan pengeluarannya dan itu itu adalah tema–tema yang diulang di kemudian hari mengenai subjek yang sama. Dia sangat menentang pajak pertanian dan merekomendasikan penggantian suatu retribusi tetap dengan pajak atas hasil pertanian yang dikenakan secara proporsional.


Kemudian Najetullah Siddique menambahkan




……these discussions have also led him to make certain observation on how prices are determined and what to the effects of different kinds are.




Diskusi ini telah membawa dia kepada kepada observasi bagaimana harga ditentukan dan bagaiman efek/imbas dari berbagai jenis pajak.




Fase Ketiga




Abu Ubaid (d. 224 AH/ 838 AD)


Kitab Abu Ubaid: Kitabul Al Amwal adalah sebuah karya yang komprehensif dalam membahas keuangan publik Islami Menurut Najetullah Sidiq (1996). Abu ubaid telah mencoba melakukan diversifikasi pemasukan negara dari pajak, pemikirannya adalah:




…., Which is more larger than that of Abu Yusuf, deals with the collection an d disbusment of the three type of revenue identified in second chapter; zakah (including ushr), one fifth of spoils of wars and from teasures troves, and fai which included Kharaj, Jizyah and aother categories not falling in the first, two categories for example, lost and found , property left without an heir. Etc. (Najetullah Sidiq;2002).




Karyanya yang lebih besar dari Abu Yusuf berkaitan dengan pengumpulan dan pengeluaran dari tiga macam pemasukan negara yang didentifikasikan dalam bab kedua; zakah (termasuk ushr), seperlima pembagian perang, dan harta troves, fai yang termasuk di dalamnya kharaj dan jizyah, dan penerimaan yang lain tidak termasuk dalam yang pertama, kedua kategori contohnya adalah kehilangan dan penemuan, property yang ditinggalkan tanpa keterangan, dll.






Pemikiran Perpajakan Pada Khalifah Abbasiyah




Al-Ghazali (451`-505/1055-1111 AD)




Beberapa pemikiran Al-Ghazali dalam bidang perpajakan sebagaimana diungkapkan oleh Nejatullah(1996), Al-Ghazali lebih menekan kan asas certainty (kejujuran dan kepastian hukum aparat) yang menentang pemungutan pajak diatas asas efisiensi (yang memberatkan rakyat) kecuali untuk pertahanan negara.:




…He is surer grounds , however when he advises the rulers to do their duty to their subjects, look after their needs and stop corrup practices like collecting taxes not sanctioned by Syariahs. When the people face scarcity and find their way no way to earn their living to fulfill their needs, it is the duty of the rulers to help them by providing foood and needed cash form public treasurry. As Regard taxes over and above the shariah he would allow them only when the expenditures on defence, etc, could not be met from normal revenue.


Dia mesti dibawah (rendah hati) ketika dia memberikan nasehat pada penguasa untuk melaksanakan tugas pada subjeknya, memenuhi kebutuhan mereka, menghentikan korupsi seperti memungut pajak yang tidak sesuai syariah. Ketika rakyat menghadap kekurangan dan dan tidak ada jalan untuk mencari penghasilan hidup, ini adalah tugas dari penguasa untuk menolong mereka dengan menyediakan makanan uang yang diperlukan dari kas negara. Pajak yang tinggi/melewati dan diatas yang diperbolehkan syariah, dia memperbolehkan sepanjang pengeluaran untuk pertahanan, dll, tidak boleh berasal dari penerimaan biasa.






Ibnu Taimyyah (661-728)


Beliau sudah mempunyai pandangan orisinal, tentang pajak yang cukup maju dan mampu menggambarkan pajak yang bergeser beban dari penjual ke pembeli (tax shifting burden), seperti pada pajak tidak langsung (di negara kita adalah pajak tidak langsung-PPn/pajak penjualan). Pergeseran pajak ini akan cenderung menaikan harga dipasar (inflasi).


Pembahasan mengenai pemikiran Ibnu Taiymiyyah;






Ibnu Timiyyah ‘s discussion on publik duties takes him on such subjects as management of money, regulation of weights and measures, prices controls when necessary and those extraordinary circircumstances that justified taxes over and above those provided by shariah…. He also noted the incidence of indirect taxes how their burdens shifted from the sellers who paid the tax to the consumers who had to pay higher price for the tax merchandise. 


Diskusi Ibnu Taymiyah mengenai tugas publik membawa dia dalam subjek seperti pengaturan uang, pengaturan ukuran timbangan berat, kontrol terhadap harga jika diperlukan dan dalam keadaan luar biasa dapat menerapkan pajak yang lebih dan seperti yang digariskan syariah. Beliau juga menggambarkan bagaimana kejadian dari pajak tidak langsung menggeser beban dari penjual kepada pembeli sehingga harga lebih tinggi.






Ibnu Khaldun (732-808 AH /1332-1404 AD)


Ibnu Khaldun bukanlah seorang sufi atau filosof walaupun dia memiliki pengetahuan yang bagus mengenai hal tersebut dan dispilin ilmu pengetahuan lainnya di zamannya (Najetullah Sidiqi, 1996).


Arnold J. Toynbee (2000) seorang ahli ilmu sosial terkenal mengatakan bahwa karyanya adalah sebagai karya terbesar sepanjang masa mengenai filsafat sejarah.


Dalam pemikirannya tentang perpajakan sebagaimana diriwayatkan oleh Charles Issawi (1996) ;






“From this you must understand that the important factor making for busines prosperity is to lighten as much as possible the burden of taxation on busisnessmen in order to encourage enterprise by giving assurance of geater profits. Distributes taxes then among all the tax payers in a fair, just and equitable manner make them general, not exempting any one because of his noble rank of great riches nor even exempting your own officials or cortierrs or followers. And do not levy on anyone a tax beyond his capacity to pay.


“Dari sini anda harus mengerti bahwa faktor penting untuk membuat bisnis lebih makmur/berkembang adalah dengan meringankan semaksimal mungkin beban pajak pada pedagang untuk memacu perusahaan dengan memberi keyakinan keuntungan yang besar. Pajak yang terdistribusi (ekstensifikasi pajak) diantara seluruh pembayar pajak dalam keadaan yang fair/terbuka, adil dan perlakuan yang sama membuat mereka lebih umum, dan tidak menspesialkan orang karena karena keningratan kekayaannya, atau karena teman kantor anda ataupun pengikut anda. Dan jangan membebankan pajak pada seseorang diluar kemampuannya.


Ibnu khaldun mempunyai pandangan yang lebih maju dibanding pemikiran konvensional tentang pajak. Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di suatu negara, pajak harus diterapkan dengan tarif seminimalkan mungkin, sehingga dapat mendorong efesiensi pasar unutk menggerakan roda perekonomian. Tarif pajak minimal ini dapat dibantu dengan melakukan ekstensifikasi pajak, sehingga penerimaan negara dapat tetap besar.


Ibnu Khaldun dalam bukunya yang terkenal-Muqaddimah-itu, juga membahas sejarah perkembangan pajak secara luas dalam pemerintahan Islam (Khaldun;2000) serta bagaimana seharusnya fungsi Diwan yang ideal.






Shah Wali Allah (1114-1176AD/1703-1762AD)


Beliau lahir di India di desa kecil Pulth bagian dari Delhi, beliau hidup pada masa sedang mengalami dekadensi keberagamaan dan ditakdirkan mempunyai peranan penting dalam memperkuat kembali fondasi arus keIslaman dalam masyarakatnya.(G.N Jalbani;1996).


Pemikiran beliau mengenai perpajakan adalah sebagai berikut:




“Taxation therefore necessary to meet the cost of government and to undertake such “common expenditure which many people can hardly aaford or which is well beyond their means. Such taxation should be confined to its need dan those who have the ability to pay” Pajak kemudian diperlukan untuk membiayai pemerintah dan untuk menangani seperti pengeluaran yang umum yang diluar kemampuan rakyat atau kebaikan yang diluar jangkauan/tujuan mereka. Perpajakan seperti itu harus sesuai dengan kebutuhannya dan dibebankan hanya kepada yang mampu membayarnya






Kesimpulan


Peran negara dalam perannya mensejahterakan rakyatnya (welfare state) dan mempertahankan kedaulatan negaranya memang bergantung dari penerimaan negara, salah satunya melalui pajak negara. Peningkatan peneriman pajak dapat merupakan salah satu cara untuk memberdayakan kas negara. Kita dapat mencoba melihat konsepsi Islam yang menarik mengenai perpajakan.


Sebagaimana dijelaskan diatas, peningkatan penerimaaan pajak memang harus mengutamakan prinsip keadilan dalam esensi kebijakan pemerintahnya, aparat pemungut pajak (fiskus pajak) harus mempunyai nilai integritas dalam melakukan tugasnya. Islam juga melakukakan penekanan penting dalam penggunaan pajak agar tidak digunakan pada hal-hal yang tidak seharusnya oleh pemerintah (amanah), Islam memberikan pengayaan (enrichment) dalam hal bagaimana proses ekstensifikasi pajak dilakukan (Ibnu khaldun, |Ibnu Taymiyah), dan ternyata para pemikir Islam sudah lama mengetahui tentang proses pemindahan beban pajak dari konsumen yang dapat menyebabkan inflasi dan terutama yang paling penting adalah sumbangan penting Khaldun dalam menanggapi teori Maltus tentang penduduk dalam kaitannya dengan kebijakan perpajakan yang baik untuk mendorong perkembangan perekonomian.




Saran




Untuk meningkatkan peran negara dalam meningkatkan pendapatan nasional maka diperlukan sebuah metode yang lebih baik serta efisien. Bahwa untuk meningkatkan pendapatan nasional melalui pajak, tidak harus melalui tarif pajak yang tinggi. Diperlukan sebuah mekanisme perpajakan yang tidak memberatkan tetapi dapat mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Kita tidak perlu apriori dalam menggali sejarah pemikiran perpajakan dalam Islam, yang telah terbukti berabad-abad akan kesuksesannya terutama menangani pemungutan pajak dalam wilayah negara yang sangat luas.


Pajak dalam Islam selain menampilkan nilai dan contoh mekanisme pajak yang baik serta efisien, juga (yang lebih penting) dapat mendorong pertumbuhan perekonomian negara secara makro, sehingga ketergantungan pada negara lain untuk mendapat bantuan pinjaman hutang dapat berkurang. Sumber






  • Untuk menulis huruf bold silahkan gunakan <strong></strong> atau <b></b>.
  • Untuk menulis huruf italic silahkan gunakan <em></em> atau <i></i>.
  • Untuk menulis huruf underline silahkan gunakan <u></u>.
  • Untuk menulis huruf strikethrought silahkan gunakan <strike></strike>.
  • Untuk menulis kode HTML silahkan gunakan <code></code> atau <pre></pre> atau <pre><code></code></pre>, dan silahkan local_parking parse dulu kodenya pada kotak parser di bawah ini.